Sudah sering pasti ya mendengar istilah konten sebagai sesuatu yang dikonsumsi sehari-hari, sampai dengan pelakunya yang disebut dengan content creator. Mayoritas asosiasi ketika mendengar istilah content creator selalu tertuju ke YouTuber atau selebgram (selebriti Instagram). Padahal konten dan content creator sudah ada bahkan sebelum social media menjamur seperti sekarang.
Secara defisini, konten bisa dielaborasi sumber informasi yang diberikan dari creator ke audience, sesederhana itu. Kini, konten semakin dileborasi juga dengan dikaitkan dengan aktivitas social media, strategi digital marketing, dan seterusnya. Mengapa? Karena memang aktivitas utama dan yang harus konsisten dilakukan ketika ingin eksis di dunia digital adalah terus memproduksi konten.
Dari tingakatannya, menurut Mark Schaefer (seorang penulis buku tentang konten dan marketing) menjelaskan setidaknya ada 4 tingkatan konten yang diproduksi:
Menjawab Pertanyaan
Tingkat paling dasar, ini menggambarkan posisi kamu ketika baru muncul di dunia digital: baru membuat akun social media, baru membuat blog atau website, baru memulai track record digital. Ketika di posisi ini, kita (baik secara individu atau ketika menjadi representative sebuah usaha) harus membuat konten yang sebanyak mungkin menjawab pertanyaan dari target market atau audience kita. Contoh ketika kita menjadi brand sebuah smartphone, setidaknya kita harus menjawab pertanyaan mendasar seperti:
- Apa keunggulan produk dibanding yang lain?
- Kenapa market harus menggunakan produkmu?
- Dimana market bisa mengakses (melihat sampai membeli) produkmu?
- Siapa sosok dibalik produkmu?
- dan seterusnya
Edukasi
Setelah mulai dikenal, barulah kita bisa ke tingkat selanjutnya yaitu memberikan edukasi. Mungkin terlihat mirip dengan menjawab pertanyaan. Bedanya, menjawab pertanyaan itu adalah memberikan informasi dasar, informasi yang target market wajib tahu tentang kita. Sedangkan edukasi, kita memberikan informasi baru yang berelasi dengan kita yang pada umumnya tidak banyak audience tahu.
Misalkan dengan contoh yang sama: smartphone. Dengan fokus mengedukasi, kita bisa membuat konten tentang fast charging alias pengisian daya cepat yang bisa meningkatkan produktivitas penggunanya karena ketika daya terbatas, pengguna akan sangat cepat mengisi kembali tanpa perlu menunggu berjam-jam. Dan seterusnya sampai pengguna merasa tahu dan perlu untuk mengetahui konten kita.
Inspirasi
Tahap ketiga ini secara tema tidak terlalu dikhususkan harus berupa menjawab pertanyaan atau edukasi, tapi lebih ke emosi yang membuat market kita tergerak. Tergerak untuk apa? Tergantung apa tujuan dari konten yang kita buat. Bisa diarahkan untuk membeli produk, bisa untuk mem-follow akun kita, atau hal lain yang positif bagi content creator. Umumnya, konten yang membuat emosi ini dikemas dalam bentuk story telling atau interaksi.
Jika sudah seperti itu, berarti konten sebagai informasi bisa dikemas dengan berbagai format disesuaikan dengan konteks dan keinginan audience:
- Video: format yang paling disukai dan berkembang, itulah kenapa Instagram-pun juga memfokuskan para creator-nya untuk membuat video
- Image atau gambar atau foto: paling disukai kedua, itulah kenapa pinterest masih digandrungi dengan dominasi konten utama berupa gambar
- Text: siapa bilang jaman sekarang serba visual, platform twitter terbukti masih bercokol bahkan jadi alternatif seru bersocial media dengan konten utama berupa teks.
- Audio: tipe yang ini mulai diminati karena bisa dinikmati sembari multi-tasking. Tak aneh di Indonesia sampai ada platform buatan lokal untuk berbagi konten suara alias podcast.
Jadi, sebenarnya, para blogger jaman dulu yang eksis tanpa social mediapun juga disebut content creator. Menarik bukan? Jadi, kamu lebih suka menikmati konten yang seperti apa?