Apakah kamu pengguna aktif TikTok? Atau pengguna social media lain tapi sering melihat konten dengan watermark TikTok berseliweran? Aplikasi rilisan 6 tahun lalu (September 2017) ini tidak hanya mengandalkan gabungan teknologi 2 aplikasi: TIkTok dan Musical.ly, tapi juga banyak kontroversi dan persepsi penggunanya.
Secara acak, jika kita dipertontonkan konten entertainment, dance, potongan-potongan cuplikan video, jika diminta untuk menebak aplikasinya, kemungkinan besar akan berpikir aplikasi yang sama: TikTok. Padahal konten serupa sebenarnya bisa juga dipublikasikan di social media yang sudah ada sebelumnya: Facebook, Instagram, Snapchat, tapi persepsi tersebut selalu merujuk ke TikTok yang mayoritas diisi konten seperti itu. Lantas apakah hanya karena itu yang membuat beberapa negara (termasuk Indonesia) membatasi bahkan memblokir akses TikTok untuk warga negaranya?
Privasi dan Keamanan Data
Salah satu alasan utama pembatasan TikTok oleh beberapa negara adalah kekhawatiran mengenai privasi dan keamanan data pengguna. TikTok, yang dimiliki oleh perusahaan teknologi Cina: ByteDance, telah berada di bawah pengawasan ketat karena dugaan pengumpulan data pengguna yang berlebihan. Beberapa negara khawatir bahwa data ini bisa disalahgunakan untuk tujuan tidak sesuai, seperti pengawasan atau manipulasi informasi.
Konten yang Tidak Pantas dan Misinformasi
TikTok juga sering dikritik karena kurangnya pengawasan atas konten yang diunggah oleh penggunanya. Terdapat kekhawatiran tentang penyebaran konten yang tidak pantas, seperti kekerasan, pornografi, dan kegiatan ilegal lainnya yang dapat diakses oleh pengguna yang bahkan di bawah umur. Selain itu, masalah misinformasi dan berita palsu yang beredar di platform ini juga menjadi perhatian, terutama dalam konteks politik dan kesehatan masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum juga bahwa algoritma TikTok untuk setiap negara berbeda alias konten yang tampil di aplikasi TikTok, beda negara, beda pula drive kontennya.
Dampak pada Kesehatan Mental
Studi menunjukkan bahwa penggunaan social media berlebihan, termasuk TikTok, dapat berdampak negatif pada kesehatan mental, terutama di kalangan remaja. Masalah seperti kecemasan, depresi, dan gangguan indera tubuh sering dikaitkan dengan penggunaan platform ini, konten video durasi singkat ini ternyata malah membuat orang kencanduan dan tidak berhenti scrolling. Hal ini mendorong beberapa negara untuk membatasi akses sebagai cara untuk melindungi kesehatan mental warganya.
Persaingan dan Kepentingan Ekonomi
Aspek lain yang mungkin berperan adalah persaingan ekonomi dan kepentingan strategis. Beberapa negara mungkin melihat TikTok sebagai ancaman terhadap perusahaan lokal atau ingin mengurangi dominasi teknologi yang dimiliki oleh perusahaan asing, terutama dari Cina. Pembatasan ini dapat menjadi langkah untuk mendukung platform lokal dan membatasi pengaruh asing di sektor teknologi. Secara proses mungkin ini adalah social media pada umumnya, tapi lebih dari itu, ada banyak meta data yang dikumpulkan dan jika digunakan untuk hal yang kurang baik, tentu merugikan.
Ketegangan Geopolitik
Ketegangan geopolitik juga berperan dalam keputusan beberapa negara untuk membatasi atau melarang TikTok. Dalam konteks persaingan global, aplikasi ini sering terlihat sebagai alat pengaruh yang digunakan oleh negara-negara besar untuk memperluas kekuasaan mereka. Hal ini menyebabkan beberapa negara menjadi waspada dan memilih untuk membatasi aksesnya.
Pembatasan akses TikTok oleh beberapa negara adalah fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari kekhawatiran privasi hingga pertimbangan geopolitik. Bagi generasi muda khususnya, penting untuk memahami konteks ini dan menjadi lebih sadar akan penggunaan media sosial mereka. Sementara TikTok menyediakan platform untuk ekspresi kreatif dan hiburan, ada juga kebutuhan untuk keseimbangan dan kesadaran tentang potensi risikonya. Tetap bijak dalam bermedia sosial!