Sebagai salah satu rukun Islam, zakat merupakan hal yang wajib dipahami oleh seorang muslim. Selain definisinya, macam-macam zakat juga perlu dipelajari agar dalam menyalurkannya kita dapat melaksanakan sesuai syariat. Macam-macam zakat di antaranya adalah zakat fitrah dan zakat maal. Singkatnya, zakat fitrah biasanya dibayarkan dengan menyerahkan beras atau bahan makanan pokok seberat 2,5 kilogram kepada amil sebagai upaya pembersihan jiwa. Sedangkan zakat maal yang merupakan zakat penghasilan dibagi menjadi beberapa macam sesuai jenisnya, di antaranya zakat hasil pertambangan, hasil pertanian, hasil laut, hasil ternak, perak, dan ternak. Masing-masing jenis zakat memiliki ketentuan dan perhitungannya sendiri.
Bagi kita yang memiliki pekerjaan dan penghasilan cukup, ada salah satu bagian dari jenis zakat maal yaitu zakat profesi atau zakat penghasilan yang juga dianjurkan untuk ditunaikan. Ada berbagai pendapat mengenai zakat profesi. Pada dasarnya, fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) No. 3 Tahun 2003 mewajibkan semua orang yang berpenghasilan cukup untuk membayar zakat ini. Penghasilan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pendapatan dari gaji bulanan, upah di luar gaji, atau bayaran dari jasa yang telah kita berikan. Fatwa MUI juga menyatakan bahwa ketentuan ini tidak terbatas hanya pada pekerja dengan penghasilan rutin, seperti karyawan kantoran. Apabila kita merupakan pekerja lepas dengan penghasilan tak rutin, zakat profesi juga tetap bisa dibayarkan.
Selain fatwa dari MUI, ada juga penddapat dari Prof Ballah Al Hasan Umar Musa’id. Dalam makalahnya yang berjudul “Zakat Ar Rawatib wa Al ujur wa Iradat Al Mihan Al Hurrat” mengatakan bahwa permasalahan ini mengemuka karena memicu rentetan pertanyaan. Persoalan paling mendasar ialah tentang ada atau tidaknya legalitas perintah zakat jenis ini dalam tuntunan zakat yang diajarkan Rasulullah?
Beliau juga menguraikan topik ini dalam karyanya yang dipublikasikan di Majalah Universitas King Saud, Arab Saudi. Menurutnya, secara umum inti persoalannya ialah ketiadaan dalil yang dengan tegas mewajibkan jenis zakat ini. Karenanya, praktik zakat profesi pun tidak didapati semasa Rasulullah. Pangkal perbedaan kemudian juga timbul ketika menganalogikan (qiyas) jenis ini dengan zakat al mal al mustafad.
Menurutnya terkait zakat profesi muncul opsi pandangan dari sejumlah pakar fikih terkemuka. Syekh Muhammad al-Ghazali berpendapat, zakat ini wajib dikeluarkan. Argumentasinya merujuk pada Qur’an surat Al-Baqarah ayat 267 yang berlaku umum. Secara logika, bila seorang petani saja dibebankan berzakat, seyogianya zakat profesi diwajibkan.
Para ulama seperti Syekh Muhammad al-Ghazali, Dr. Yusuf al-Qaradlawi telah melakukan upaya untuk memecahkan persoalan ini dengan mencari cantolan atau rujukan dalam fiqh klasik. Misalnya, ijtihad yang dilakukan Syaikh Muhammad al-Ghazali bahwa orang yang bekerja dengan penghasilan yang melebihi petani wajib mengeluarkan zakat penghasilannya. Ini berarti, zakatnya gaji diqiyaskan dengan zakatnya pertanian.
إن مَنْ دَخْلُهُ لَا يَقِلُّ عَنْ دَخْلِ الْفَلَّاحِ الَّذِي تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ يَجِبُ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةً؛ فَالطَّبِيْبُ، وَالْمَحَامِي، وَالْمُهَنْدِسُ، وَالصَّانِعُ، وَطَوَائِفُ الْمُحْتَرِفِيْنَ وَالْمُوَظَّفِيْنَ وَأَشْبَاهُهُمْ تَجِبُ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ، وَلَابُدَّ أَنْ تُخْرَجَ مِنْ دَخْلِهِمْ الكَبِيْرِ –محمد الغزالي، الإسلام وأوضاعنا الإقتصادية، مصر-دار النهضة، الطبعة الأولى، ج، 1، ص. 118
“Sesungguhnya orang yang pemasukkannya tidak kurang dari petani yang diwajibkan zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Karenanya, dokter, pengacara, insinyur, pengrajin, para pekerja professional, karyawan, dan sejenisnya, wajib zakat atas mereka. Dan zakatnya harus dikeluarkan dari pendapatan mereka yang besar”.
(Muhammad al-Ghazali, al-Islam wa Audla’una al-Iqtishadiyyah)
Di luar adanya berbagai pendapat tersebut, semuanya memiliki dasar yang kuat. Jika kita memilih untuk mengikuti salah satu pendapat, maka menjalankan zakat profesi maupun tidak juga tidak dapat dipukul rata pada prioritas orang dalam melaksanakannya. Pada intinya, menyisihkan harta sebagai upaya menyucikan diri dan berperan dalam kesejahteraan umat merupakan hal yang harus diperjuangkan bersama.